Rakyat Dilema Hadapi Pilkades di Tengah Pandemi, Saran dari Aktivis Ini Wajib Dicermati Pemda Lebak

- Sabtu, 18 September 2021 | 15:21 WIB
Aktivis Pemuda Lebak Selatan Hida Nurhidayat (Rahmat Hidayat)
Aktivis Pemuda Lebak Selatan Hida Nurhidayat (Rahmat Hidayat)

POROS.ID - Pandemi Covid-19 hingga saat ini masih merebak, namun Pemilihan kepala desa serentak tahun 2021 akan tetap dilaksanakan. Untuk mengantisipasi terjadinya kerumunan,
pemungutan suara akan digelar di TPS layaknya Pilpres atau Pilkada. Masing-masing TPS maksimal kisaran 500 pemilih.

Dalam menjalankan kebijakan ini, Pemerintah Kabupaten Lebak, Banten mengeluarkan ketentuan yang dinilai kurang tepat. Yakni dalam hal mekanisme penghitungan suara dengan cara menyatukan seluruh surat suara hasil pemungutan suara dari masing-masing TPS dan dihitung disuatau tempat tertentu.

"Kebijakan itu berlaku se-kabupaten Lebak," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Lebak, Babay Imrony dihubungi POROS.ID, Sabtu 18/9/2021.

Baca Juga: Beras PPKM Menuai Polemik, DPRD akan Uji Kualitas, Polres Lebak Cek ke Lapangan

Namun demikian, saat dikonfirmasi lebih lanjut terkait potensi yang akan terjadi (atas ketentuan itu) berdasarkan hasil kajian dan analisa Pemda, Babay tidak merespons.

Aktivis pemuda Lebak Selatan Hida Nurhidayat meminta kepada Pemda dan DPRD Lebak agar mempertimbangkan dan mengkaji kembali kebijakan tersebut secara serius. Memang, kata Hida, pada Pilkades kali ini, masyarakat dihadapkan pada dua kondisi dilematis, tetapi menurutnya, harus dipilih salah satu yang paling penting dan maslahat untuk dijadikan regulasi hukum.

Kondisi yang pertama, lanjut Hida, berkaitan dengan dampak demokrasi. Pasalnya, jika penghitungan suara dilakukan per TPS atau per-kotak suara TPS, maka berpotensi akan terjadinya dua kemungkinan, yakni bisa terjadi perpecahan di masyarakat atau bisa juga lahirnya kedewesaan uniformitas masyarakat dalam berdemokrasi.

"Kondisi yang kedua, berkaitan dengan wacana mekanisme penghitungan suara bahwa dari sekian kotak suara hasil penghitungan suara di tiap TPS, dibuka kemudian disatukan ke dalam satu kotak suara, maka hal ini cenderung akan memicu berbagai potensi chaos. Sebab mekanisme seperti itu tidak pernah terjadi dalan sejarah kontestasi demokrasi apapun," papar Hida.

Baca Juga: Soal Utang Rp. 245 Juta, Kades Cikamunding: Itu Tanggung Jawab TPK

Jika hal ini belum diuji baik secara teori maupun secara empirik dan malah serta merta dipaksakan secara spekulatif, tandas Hida, tentu nekanisme seperti itu seolah-olah membiarkan kemungkinan-kemungkinan kerawanan, kecurangan, selisih suara, pemungutan dan penghitungan suara ulang dan lain-lain.

"Yang tentunya akan merugikan masyarakat, para calon juga pemerintah sendiri terutama dari sisi anggaran. Saya contohkan satu kasuistik sederhana, misalnya di satu desa ada 10 TPS (TPS A-J), sedangkan yang terjadi kecurangan atau terjadi selisih antara jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dengan jumlah surat suara yang digunakan berada di TPS B, maka kecurangan atau selisih surat suara di TPS B akan berpengaruh terhadap TPS-TPS lainnya yang tidak bermasalah, karena masalahnya disatukotaksuarakan tadi," terang Hida.

Dengan dua kondisi itu, lanjut Hida, yakni antara kekhawatiran dampak demokrasi terjadinya pengkotak-kotakan masyarakat dengan kondisi chaos pasca penghitungan suara, dirinya menyarankan agar lebih baik mengantisipasi kondisi yang kedua dengan tetap penghitungan suara dilaksanakan di masing-masing TPS.

Baca Juga: 20 Pejabat Dinkes akan Dinonaktifkan, Gubernur WH Buka Lowongan untuk Penggantinya

"Kalaupun dihitung di satu titik atau di kantor desa, mekanismenya tetap harus dihitung per-kotak suara hasil pemungutan suara di masing-masing TPS," tandasnya.

Halaman:

Editor: Rahmat Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

Menjadi Perempuan Berkarakter

Minggu, 21 April 2024 | 20:32 WIB

Prabowo Tiba di China, Ini Agendanya

Selasa, 2 April 2024 | 04:38 WIB

Terpopuler

X